Ka’bah, yang bersemayam megah di jantung Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, merupakan kiblat dan episentrum spiritual bagi umat Islam global. Struktur sakral ini adalah fokus utama dalam peribadatan kaum Muslimin. Namun, sebuah regulasi fundamental yang mungkin belum banyak diketahui adalah penetapan wilayah udara di atas Ka’bah sebagai zona larangan terbang (no-fly zone), sebuah kebijakan yang diterapkan dengan ketat oleh pemerintah Arab Saudi.
Kebijakan restriksi penerbangan ini bukanlah hal baru, melainkan telah diberlakukan sejak periode yang cukup lama dan konsisten dipatuhi hingga kini. Tidak satupun armada udara komersial diizinkan melintasi koridor langit di sekitar Ka’bah. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, faktor apakah yang mendasari larangan pesawat terbang di atas Ka’bah?
Faktor di Balik Kebijakan Larangan Terbang di Atas Ka’bah
Otoritas Kerajaan Arab Saudi memberlakukan larangan penerbangan di atas Ka’bah bukan didasari oleh pertimbangan teknis penerbangan atau alasan saintifik tertentu. Sebaliknya, keputusan ini berakar kuat pada aspek ideologis dan nilai-nilai religius. Mengingat Makkah adalah kota suci yang aksesnya terbatas hanya bagi umat Islam, maka penjagaan ketat terhadap ruang udaranya merupakan manifestasi penghormatan terhadap kesucian Ka’bah.
Persatuan Pilot Maskapai Nasional Prancis (SNPL), melalui laman resminya, turut memberikan perspektif bahwa larangan ini adalah bagian integral dari aturan yang menjaga eksklusivitas kota suci Makkah. Status Makkah sebagai titik paling sakral dalam Islam menjadikan wilayah udaranya sebagai zona terbatas demi menjaga kehormatannya.
Pertimbangan lain yang signifikan adalah potensi gangguan suara. Deru mesin pesawat dikhawatirkan dapat menginterupsi suasana khusyuk para jamaah yang tengah beribadah. Kondisi geografis Makkah yang dikelilingi perbukitan berpotensi memantulkan dan mengamplifikasi suara, sehingga risiko kebisingan yang memecah konsentrasi ibadah di Masjidil Haram menjadi lebih besar.
Menurut Otoritas Umum Penerbangan Sipil Arab Saudi (GACA), sebagaimana termaktub dalam situs resminya, restriksi ini juga berlaku untuk pengoperasian pesawat di area yang dilalui oleh penjaga Dua Masjid Suci. Regulasi ini disebarluaskan melalui NOTAM (Notice to Airmen), sebuah sistem notifikasi standar internasional untuk seluruh entitas penerbangan.
Meskipun bersifat stringent, terdapat beberapa dispensasi dalam kondisi spesifik. Misalnya, untuk keperluan pengawasan keamanan, terutama selama periode pelaksanaan ibadah Haji, helikopter dapat memperoleh izin untuk beroperasi di atas langit Kota Makkah dalam misi yang terbatas dan diawasi secara ketat.
Ka’bah: Titik Konvergensi Umat Islam
Ka’bah diakui sebagai bangunan dengan nilai kesakralan tertinggi bagi komunitas Muslim di seluruh penjuru dunia. Posisinya yang sentral di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, menjadikannya fokus utama.
Struktur ini sering disebut sebagai Baitullah, yang secara harfiah berarti “Rumah Allah”. Dalam firman-Nya di Surah Al-Baqarah ayat 125, Allah SWT menegaskan status Ka’bah sebagai tempat berkumpulnya umat manusia dan sebagai zona aman, serta menetapkan Maqam Ibrahim sebagai lokasi untuk melaksanakan shalat.
Allah ﷻ berfirman:
وَإِذْ جَعَلْنَا ٱلْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَأَمْنًا وَٱتَّخِذُوا۟ مِن مَّقَامِ إِبْرَٰهِۦمَ مُصَلًّى ۖ وَعَهِدْنَآ إِلَىٰٓ إِبْرَٰهِۦمَ وَإِسْمَٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِىَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلْعَٰكِفِينَ وَٱلرُّكَّعِ ٱلسُّجُودِ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i’tikaf, yang ruku’ dan yang sujud.”
Tafsir ringkas dari Kementerian Agama RI menguraikan bahwa ayat tersebut merupakan pengingat bagi Nabi Muhammad SAW dan umatnya akan penetapan Ka’bah oleh Allah ﷻ sebagai titik temu manusia dan kawasan yang dilindungi. Umat Islam dari berbagai belahan dunia berduyun-duyun mengunjungi Ka’bah untuk menunaikan rukun Islam kelima, yakni ibadah haji.
Individu yang berada di sekitar Ka’bah seringkali merasakan kedamaian batin yang mendalam. Bahkan, sekembalinya ke tanah air masing-masing, kerinduan untuk kembali ke Tanah Suci kerap dirasakan, menandakan adanya ikatan spiritual yang kuat.
Makna Ka’bah sebagai tempat yang aman juga tercermin pada penjagaan kesucian area di sekitar Masjidil Haram. Sejak zaman lampau, masyarakat Arab telah menunjukkan penghormatan dan pemuliaan yang tinggi terhadap wilayah ini.
Dahulu, tradisi balas dendam antar suku sangat kental. Namun, jika target mereka berada di dalam Tanah Haram, pengejaran akan dihentikan sebagai bentuk penghormatan terhadap kesakralan area tersebut.
Sepanjang lintasan sejarah, berbagai upaya untuk merusak Ka’bah atau menguasai Tanah Haram selalu menemui kegagalan atas izin Allah SWT, seperti yang terjadi pada pasukan Raja Abrahah.
Ayat tersebut juga menyoroti Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Maqam Ibrahim merupakan batu pijakan Nabi Ibrahim AS saat membangun Ka’bah bersama putranya, Nabi Ismail AS.
Allah SWT menginstruksikan keduanya untuk memelihara kesucian Ka’bah, memastikan umat Islam dapat beribadah dengan tenang di tengah penolakan kaum musyrikin, sekaligus menegaskan bahwa ajaran Nabi Muhammad SAW adalah kesinambungan dari risalah Nabi Ibrahim AS.
Perintah untuk “membersihkan” Ka’bah memiliki dimensi simbolis, yakni menjaga kemurniannya dari segala bentuk kenajisan fisik serta dari praktik kemusyrikan, penyembahan berhala, dan tindakan tercela lainnya.
Penyebutan Ka’bah sebagai “Rumah Allah” bukanlah dalam artian Allah ﷻ berdiam secara fisik di dalamnya, melainkan sebagai penegasan bahwa tempat ini adalah pusat peribadatan yang didedikasikan murni untuk menyembah Allah Yang Maha Esa.