Pemerintah berencana mempersingkat masa tunggu haji di sejumlah wilayah, yang berarti calon jemaah bisa berangkat lebih cepat tanpa harus menanti hingga 48 tahun. Wacana ini disampaikan oleh Wakil Menteri Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Simanjuntak, yang meyakini bahwa formula baru ini akan secara signifikan meningkatkan rasa keadilan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Menurut Dahnil, selama ini pembagian kuota haji per provinsi dan kabupaten/kota dinilai tidak sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Selain itu, nilai manfaat yang diterima oleh daerah-daerah dengan masa tunggu yang lebih lama seharusnya lebih besar ketimbang daerah dengan masa tunggu yang pendek. Hal ini logis karena setoran awal haji mereka dikelola oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dalam periode waktu yang jauh lebih lama.
Sebagai contoh, Dahnil menyebut bahwa jemaah dari Sulawesi Selatan, yang masa tunggunya bisa mencapai 40 tahun, seharusnya menerima manfaat lebih besar dibandingkan dengan jemaah di Banten yang hanya mengantre 27 tahun. Dahnil menegaskan bahwa keadilan harus diwujudkan, baik dari sisi keuangan manfaat maupun dari sisi antrean, dan pemerintah telah mempersiapkan rumusan untuk hal ini.
Keutamaan Ibadah Haji dan Kabar Gembira Perpendekan Antrean
Ibadah haji adalah rukun Islam kelima dan merupakan puncak dari pengabdian seorang Muslim kepada Allah. Perjalanan suci ke Baitullah ini tidak hanya menggugurkan kewajiban, tetapi juga menghapus dosa, menyucikan jiwa, dan menjanjikan ganjaran surga bagi haji yang mabrur, yaitu yang ibadahnya diterima tanpa dicampuri maksiat.
Oleh karena itu, bagi setiap Muslim yang mampu, menunaikan haji adalah impian yang didamba-dambakan, bahkan rela menanti puluhan tahun untuk bisa berangkat. Kabar baik mengenai percepatan antrean haji tentu menjadi harapan besar bagi jutaan calon jemaah.
Saat ini, rekor masa tunggu haji terlama di Indonesia dipegang oleh Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, dengan antrean mencapai 48 tahun. Untuk mengatasi ketidakmerataan ini, Kementerian Haji dan Umrah (Kemenhaj) akan merombak total sistem antrean haji.
Dampak dari perombakan ini adalah penambahan dan pengurangan kuota di beberapa daerah, dengan tujuan menyamakan rata-rata masa tunggu nasional menjadi antara 26 hingga 27 tahun. Dahnil mengakui bahwa penyesuaian kuota ini, terutama pengurangan di beberapa daerah, kemungkinan akan memicu protes. Ia menyadari bahwa transformasi mendasar ini akan menciptakan “turbulensi” yang besar. Namun, ia menyatakan bahwa “pil pahit” ini harus ditelan demi memastikan perbaikan dan masa depan penyelenggaraan haji Indonesia yang lebih baik.